RSS

Penguatan Ekonomi Umat Menuntut Perubahan Paradigma

18 May

Oleh: Dr. Hendri Saparini

(Pengamat Ekonomi ECONIT/Deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

1.    Ketertinggalan ekonomi umat
Umat Islam merupakan penduduk mayoritas di negeri ini. Oleh karenanya, buruknya potret perekonomian sebagian besar masyarakat pada dasarnya mencerminkan buruknya kondisi ekonomi umat Islam. Ada tiga indikator kondisi ekonomi rakyat yang biasa digunakan yakni kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial. Hingga saat ini angka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan penduduk masih sangat tinggi. Jika menggunakan standar Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2009, yakni batas pengeluaran Rp 200.262 per kapita per bulan, maka jumlah orang miskin sebanyak 32,53 juta atau 14,15 persen (Maret, 2009). Batasan kemiskinan tersebut tentu masih di bawah kriteria kemiskinan dalam Islam dimana seseorang dianggap tidak miskin jika ia telah memiliki makanan, pakaian dan tempat tinggal, sementara pendidikan, kesehatan, air dan listrik menjadi tanggung jawab negara untuk menjaminnya. Sementara batas pengeluaran BPS bagi orang miskin tersebut tidak menekankan apakah pakaian, makanan dan tempat tinggal yang dimiliki layak dan juga pengeluaran tersebut termasuk untuk pendidikan, kesehatan, air, listrik, yang saat ini hampir semua harus dibeli.

Kemiskinan dan pengangguran adalah dua masalah yang tidak terpisahkan. Saat ini angka pengangguran yang dipublikasikan oleh pemerintah memang ’hanya’ 8,97 juta jiwa (7.87%) tahun 2009. Namun, masalah pengangguran tentu tidak hanya pada jumlah. Data jumlah orang menganggur pun bisa misleading (menyesatkan) karena definisi orang bekerja yang digunakan BPS sangat longgar, yakni hanya cukup bekerja  1 (satu) jam sehari dalam kurun satu minggu terakhir. Dengan definisi tersebut, yang dianggap bekerja, sebagian besar (69.5%) ternyata berada di sektor informal. Untuk pekerja profesional dengan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi mungkin waktu kerja satu jam bukan masalah karena pendapatannya dapat memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi karena sebagian besar pekerja berpendidikan rendah, maka orang yang dikategorikan bekerja belum tentu memiliki penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.

Kegiatan ekonomi umat jika dilihat dari struktur usaha di Indonesia, sebagian besarnya berbentuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Pada tahun 2008 jumlah usaha mikro, kecil dan menengah mencapai 51,3 juta unit atau 99% dari total unit usaha di Indonesia. Sedangkan jumlah tenaga kerja sebanyak 90 juta atau 97% dari total tenaga kerja nasional. Meskipun dari sisi jumlah sangat besar tetapi dari sisi kontribusi terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 54% (2008). Artinya, meskipun jumlahnya banyak tetapi produktifitas dan tentu saja daya saingnya relatif lemah.

Pertanyaan pentingnya, mengapa ekonomi umat hingga kini masih sangat terbelakang? Jawaban dari pertanyaan ini sangat penting karena akan mengantar pada strategi dan kebijakan yang tepat.

2.    Keterpurukan akibat kesalahan kebijakan
Memang bila dilakukan survei kepada pengusaha mikro dan kecil, maka masalah yang menurut mereka paling utama adalah modal. Fakta data pemerintah pun menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM masih menggunakan modal sendiri (70%). Hanya sebagian kecil yang telah menggunakan pinjaman baik yang bersumber dari perorangan, perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya. Hal ini bisa dipahami karena akses UMKM terhadap kredit perbankan memang masih sangat rendah sehingga alokasi kredit perbankan untuk sektor UMKM masih kurang dari 50% terhadap total kredit nasional. Selain itu nilai pinjaman juga relatif kecil, rata-rata maksimal sebesar Rp12.9 juta per unit usaha.

Akan tetapi, selain masalah modal usaha, tertinggalnya ekonomi umat atau UMKM juga disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya, disebabkan oleh lemahnya dukungan sumber daya manusia akibat tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat bawah yang terbatas. Masalah lain adalah persaingan usaha yang dihadapi UMKM yang sangat ketat, sehingga akhirnya pasar bagi produk UMKM semakin berkurang karena tergusur oleh produk impor. Sangat banyak faktor yang mengakibatkan kekalahan UMKM dalam persaingan. Mulai dari tingginya biaya produksi UMKM karena tingginya biaya modal (tingginya suku bunga pinjaman), juga tingginya biaya energi akibat cenderung terus naiknya harga energi seperti listrik, BBM, dll. Faktor lain adalah karena dibukanya pasar dalam negeri lewat liberalisasi perdagangan yang dilakukan tanpa persiapan. Terakhir, sulitnya UMKM mendapatkan bahan baku akibat absennya prioritas bahan mentah untuk kepentingan dalam negeri.

Dengan fakta-fakta di atas, solusi bagi perbaikan ekonomi umat tentu tidak cukup hanya dengan memberikan dukungan modal dengan menawarkan berbagai produk pendanaan bagi UMKM. Juga tidak cukup hanya membuatkan model-model usaha bisnis yang tepat bagi ekonomi umat yang berskala mikro dan kecil. Karena ada banyak faktor non modal, seperti keterbatasan pasar, SDM, energi, teknologi, industri pendukung, dll, yang menghambat ekonomi umat untuk dapat berkembang dan kompetitif.

Akses dan ketersediaan modal

Kebijakan pemberian subsidi bunga untuk usaha mikro, kecil dan menengah telah banyak diberikan dengan disain beragam dan relatif spesifik. Ada empat jenis kredit program yakni, KKP-E untuk pangan, KUR untuk usaha mikro kecil, KPEN-RP untuk perkebunan, dan KLBI kepada bank untuk dukung program pemerintah. Namun, akses UMKM terhadap dukungan modal masih menjadi masalah besar. Berbagai kredit program yang telah ditawarkan tersebut pun belum berkinerja baik. Memang sangat banyak masalah administrasi yang menjadi penghambat. Namun, ada masalah lain dari rendahnya realisasi kredit yang ditawarkan antara lain karena sumber dana berasal dari dana bank (dana APBN hanya sebagai dana penjamin). Hal ini mengakibat perbankan akan sangat berhati-hati/mensyaratkan adanya bunga, agunan dan dokumen yang rumit karena dana yang disalurkan adalah dana komersial. Berbeda bila dana tersebut berasal dari dana pemerintah. Tingkat bunga, agunan, persyaratan mungkin akan lebih fleksible.

Memang ada kendala lain yang menjadi ancaman bagi penyediaan permodalan bagi UMKM yakni struktur kepemilikan perbankan nasional yang semakin didominasi modal asing. Bahkan untuk bank pemerintah akan segera diberlakukan kebijakan single presence policy yang melarang bank hanya dimiliki oleh pemerintah. Artinya, bank pemerintahpun didorong untuk segera diswastakan. Akhirnya porsi kepemilikan asing di perbankan nasional meningkat. Bila tahun 1999, hanya sebesar 11.6%, saat ini sudah hampir separuh industri perbankan nasional  (47.02%).  Kondisi ini tentu tidak dapat dilepaskan dari diberlakukannya UU No.10 Tahun 1998 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111 Tahun 2007 yang merupakan perubahan Perpres 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Perpres itu, antara lain, memberikan peluang bagi investor asing untuk menguasai 99 persen saham perbankan nasional.

Padahal di negara-negara lain saja, kepemilikan perbankan asing sangat dibatasi. Kepemilikan asing di Filipina maksimal hanya 51%, Thailand 49%, India 49%, Korsel 30%, Malaysia 30%, Vietnam 30%, AS 30%, RRC 25%, dan Australia 15%. Pembatasan ini penting karena kepemilikan sektor keuangan oleh asing akan membatasi intervensi dan peran aktif pemerintah dalam memberikan dukungan pendanaan bagi ekonomi mikro, kecil dan menengah (karena akan kalah bersaing dengan modal besar). Hal tersebut juga akan membatasi peluang untuk mendukung ekonomi UMKM dengan basis non bank atau model pendanaan bukan pinjaman. Inilah sebabnya saat ini dukungan pendanaan bagi ekonomi kecil akhirnya hanya berupa penjaminan dan tetap menggunakan mekanisme pinjaman dengan bunga.

Regulasi yang telah salah kaprah ini tentu harus dilakukan koreksi substansial karena dalam perspektif ekonomi kelembagaan, regulasi memiliki peran signifikan dalam mengatur dan mengarahkan perekonomian suatu negara. Dalam Islam, regulasi yang memberikan perlindungan dan proteksi kepada perbankan dan lembaga keuangan yang melakukan transaksi berbasisi suku bunga tentu keliru dan sangat disayangkan karena selain diharamkan (QS. al-Baqarah [2]:275; 279) transaksi ribawi juga sangat destruktif dalam kegiatan ekonomi. Apalagi memberikan peluang kepada pihak asing melakukan hegemoni terhadap perekonomian umat melalui sektor keuangan yang merupakan jantung ekonomi akan mengakibatkan hilangnya kemerdekaan politik ekonomi umat. Allah swt berfirman: ”Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai/memusnahkan orang-orang Mukmin”. (QS: An Nisaa’ [4]:141).

Peningkatan sumber daya manusia

Lemahnya dukungan SDM adalah hambatan besar bagi UMKM. Saat ini sebanyak 53 persen tenaga kerja di Indonesia hanya berpendidikan SD. Dengan kondisi tersebut tidak heran jika 69,5 persen tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal lantaran sulit untuk masuk ke dalam sektor formal. Pendidikan dan ketrampilan yang rendah inilah yang akhirnya mengakibatkan daya saing serta produktivitas tenaga kerja UMKM relatif rendah. Artinya pendidikan umat harus ditingkatkan. Namun, rendahnya tingkat pendidikan tentu tidak bisa dilepaskan dari rendahnya akses umat terhadap pendidikan. Meski anggaran pendidikan telah dialokasikan 20% dari APBN namun pada faktanya nilainya hanya mampu meng-cover belanja rutin dan biaya pendidikan hingga tingkat SMP. Itupun masih menyisakan biaya ain-lain yang harus ditanggung oleh para peserta didik seperti biaya seragam dan biaya pembelian buku.

Liberalisasi pendidikan yang ditandai dengan pemangkasan subsidi pendidikan dan pembebasan lembaga pendidikan untuk menetapkan harga, telah mendorong mahalnya pendidikan menengah dan tinggi di Indonesia. Kebijakan salah arah ini tentu harus diubah. Dalam Islam menuntut ilmu bahkan merupakan kewajiban atas setiap muslim laki-laki dan perempuan.  Sabda Rasulullah saw: ”Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, Al-Baihaqi). Di samping membentuk kepribadian yang islami, pendidikan juga merupakan sarana untuk mengembangkan skill dan intelektual yang dibutuhkan dalam menjalani kehidupan termasuk menghadapi persaingan di tingkat global. Selain itu upaya untuk meraih keunggulan umat dalam bidang ekonomi termasuk dalam teknologi, komunikasi dan  persenjataan yang dituntut atas umat Islam (QS al-Anfal [8]: 60) hanya dapat terealisir jika didukung oleh SDM yang tangguh. Oleh karenanya, menjadi sebuah keharusan untuk mendorong perubahan kebijakan penyediaan pelayanan pendidikan yang dapat dijangkau seluruh rakyat.

Dukungan pengelolaan energi
Akses dan keterbatasan dukungan energi murah juga telah menjadi hambatan besar bagi UMKM. Pasalnya, gas dan berbagai mineral Indonesia tidak dikelola dengan benar sehingga tidak mampu mendukung kemajuan UMKM antara lain dengan penyediaan harga BBM dan listrik murah. Selama ini tarif dasar listrik (TDL) cenderung meningkat karena bauran energi (energy mix) PLN yang berasal dari BBM masih sangat tinggi, mencapai 85%. Akibatnya, biaya bahan bakar PLN juga menjadi sangat mahal. Padahal jika energi PLN didiversifikasi ke gas dan batu bara misalnya, biaya produksi dapat ditekan secara signifikan. Adalah ironis saat produksi gas di Indonesia melimpah, selama hampir 40 tahun terakhir gas Indonesia lebih banyak dinikmati oleh pihak asing. Keadaan ini tentu tidak lepas dari buruknya pengelolaan migas pemerintah. Sejak awal tahun 1970-an hingga 2007, kontrak jual beli gas yang dialokasikan untuk domestik mencapai 20,12 TCF (48%) dan ekspor sebesar 21,55 TCF (52%). (Buletin BP Migas, No. 46, Juni 2008). Bahkan, paska kerjasama dengan IMF lewat LoI sejak tahun 1998 dan terbitnya UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas, bagian gas untuk kepentingan dalam negeri semakin dibatasi.

Hal yang sama terjadi pada pengelolaan minyak bumi yang mengakibatkan masyarakat harus selalu dihantui oleh kenaikan harga BBM. Pemerintah seolah berhak dan bahkan wajib menaikkan harga BBM agar tidak membebani APBN. Padahal akar masalahnya bukan sekadar alokasi subsidi, tetapi karena pengeloan migas yang salah sehingga saat ini 86% migas didominasi oleh asing dan swasta. Pemerintah yang diwakili oleh Pertamina hanya menguasai 14% produksi minyak bumi. Konsekwensinya, langkah pemerintah untuk segera menyamakan harga BBM dalam negeri pada harga pasar internasional seolah menjadi sebuah kebenaran. Bahkan akhirnya sering tanpa canggung menggunakan rujukan kebijakan Singapura, Jepang, dll. Padahal negara-negara tersebut bukan negara yang oleh Allah SWT diberikan rizki kekayaan energi alam seperti Indonesia. Tambahan lagi sistem bagi hasil dengan cost recovery saat ini sering diselewengkan sehingga kontraktor asing lebih banyak menikmati hasil dibanding pemerintah.

Fakta ini sangat ironis karena ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 telah menyebutkan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal ini tak lain mempertegas bahwa pengelolaan SDA diselenggarakan demi kesejahteraan sosial bagi rakyat. Kepentingan rakyatlah yang utama bukan kepentingan perorangan, meskipun hak individu tetap dihormati. Dalam perspektif ekonomi Islam, pengelolaan migas dan tambang non migas yang diserahkan kepada swasta termasuk asing tentu merupakan kebijakan fatal. Migas dan tambang lain yang depositnya melimpah merupakan public goods (barang publik) yang harus dikelola oleh negara dan hasilnya sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Rasulullah saw: ”Manusia berserikat pada tiga hal: air, api dan padang gembalaan.” (H.R. Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah).

Di sisi lain, secara ekonomis penyerahan kepemilikan dan pengelolaan SDA oleh swasta/asing menyebabkan potensi penerimaan negara berkurang. Padahal kekayaan tersebut dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan secara optimal dan melakukan kewajiban pemerintah untuk memberikan pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang layak, termasuk memberikan modal dan penguatan bagi ekonomi umat. Sehingga tidak harus bersandar pada utang dan pembebanan pajak kepada publik. Akibat pengelolaan kekayaan SDA yang salah, kini Indonesia meskipun memiliki kekayaan SDA yang melimah, namun telah menangguk utang yang sangat besar. Nilainya mencapai Rp 1.619,96 triliun (Februari 2010). Porsi penerimaan pemerintah dari sumber daya alam juga hanya sekitar 36%, sedangkan sisanya bersumber dari berbagai pungutan pajak dan utang. Seolah Indonesia adalah negara tanpa kekayaan alam.

Masih sangat banyak hambatan yang dihadapi para pengusaha terutama kelompok mikro dan kecil untuk maju dan lebih kompetitif. Salah satunya liberalisasi ekonomi sudah dimulai sejak belasan tahun lalu, tetapi industri domestik tetap tidak siap memasuki pasar bebas karena dilakukan tanpa industrial policy and strategy yang jelas. Berbagai kesepakatan perdagangan bebas telah dibuat tanpa jelas keuntungan apa yang akan diperoleh masyarakat. ASEAN-China FTA yang kini menjadi monster hanyalah salah satunya. Berbagai kerjasama ekonomi telah semakin giat dilakukan tidak hanya lewat ASEAN, seperti kesepakatan ASEAN-China, Korea, Jepang, Australia, New Zealand dan India. Tetapi juga secara bilateral, seperti perjanjian dengan Amerika, Hungaria, Hongkong dll. Akhirnya liberalisasi hanya untuk liberalisasi itu sendiri. Padahal semestinya dilakukan bila dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan kekuatan ekonomi nasional.

3.    Urgensi perubahan paradigma ekonomi
Jelas bahwa penguatan ekonomi umat memerlukan perubahan strategi dan kebijakan ekonomi di berbagai bidang. Tidak hanya pengembangan kewirausahaan umat dan kebijakan perbankan dan permodalan yang lebih berpihak pada umat, tetapi juga dukungan kebijakan di berbagai bidang antara lain: mengoreksi pengelolaan sumber daya alam, merubahan haluan liberalisasi ekonomi yang telah salah arah, menghentikan kecenderungan kebijakan pendidikan yang tidak memberikan kesempatan bagi umat untuk menguasai pendidikan dan teknologi tinggi, dan lain sebagainya.

Namun demikian, perubahan strategi dan kebijakan tersebut hanya bisa dilakukan apabila dilakukan perubahan paradigma ekonomi. Saat ini pengelolaan ekonomi cenderung menggunakan paradigma liberal kapitalistik dan jauh dari sistem ekonomi Islam, sehingga harus segera ditinggalkan dan ganti dengan paradigma kebijakan ekonomi yang Islami. Selanjutnya, segera melakukan dua pekerjaan besar. Pertama, merancang strategi untuk menyusun model pengembangan dan pemberdayaan ekonomi umat, baik dengan pelatihan, peningkatan akses, mengembangkan jaringan para pengusaha muslim baik di dalam maupun di luar negeri. Kedua, melakukan koreksi terhadap berbagai kebijakan dan aturan perundangan yang berkait masalah ekonomi. Sangat banyak undang-undang maupun peraturan yang bersifat kapitalistik dan merugikan umat, sehingga akan menghambat upaya pemberdayaan dan pengembangan ekonomi umat.

Sebagai penutup, untuk mewujudkan perubahan yang mendasar, peran dari berbagai lembaga dan organisasi keumatan menjadi sangat diperlukan. Selama ini banyak lembaga dan organisasi umat telah banyak melakukan upaya perbaikan dalam distribusi ekonomi agar lebih adil. Namun, peran tersebut ternyata masih belum cukup karena diperlukan peran yang lebih high level untuk dapat mendorong perubahan paradigma dalam pengelolaan ekonomi untuk menuju pada pengelolaan ekonomi yang Islami.***

(Makalah pernah disampaikan pada Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) Ke-5, di Asrama Haji Pondok Gede – Jakarta, 7-8 Mei 2010)

[www.suara-islam.com]

 
 

Leave a comment